Masyarakat Madani dalam Perspektif Islam
MAKALAH
INI DIAJUKAN GUNA MELENGKAPI MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Dosen
Pengampu :
Drs.Khamidun,M.Pd
Disusun
Oleh :
NAMA : Irvan Ariviyanto
NIM :1201414020
Fak/jurusan :FIP/PLS
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
TAHUN
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis
ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Masyarakat Madani dalam Perspektif Islam”
dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa penulis sanjungkan kepada
Nabi Besar Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya kelak di yaumul
kiamah.
Penulis menyadari didalam pembuatan
makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak.Drs
khamidun,M.Pd selaku
dosen pengampu yang telah memberikan arahan kepada kami dalam rangka
penyelesaian makalah ini.
2.
Kepada orang tua yang memotivasi
kami sehingga makalah ini terselesaikan.
3.
Kepada teman-teman dan semua pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, maka penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih banyak
kekuarangan dan kesalahan, baik dalam penulisan maupun penyajian materi.Untuk
itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan guna penyempurnaan dalam penyusunan dan penulisan tugas kelompok ini
dan tugas-tugas selanjutnya.
semarang,
11Deseember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar isi ............................................................................................................ ii
1. Bab I
Pendahuluan ................................................................................... 1
a.
Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
b. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
c.
Tujuan .................................................................................................... 2
2. Bab II Pembahasan ..................................................................................... 3
a.
Islam dan Masyarakat Madani ..........
...................................................... 3
b. Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat
Madani............................ 6
c. Sosio-Historis Masyarakat Madinah
pada Masa Rasulullah ........................
7
d. Karakteristik Masyarakat Madani ............................................................ 9
3. Bab III Penutup .......................................................................................... 17
a.
Kesimpulan ............................................................................................ 17
b. Daftar Pustaka.......................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Term Civil Society atau “Masyarakat Madani”,
merupakan wacana dan fokus utama bagi masyarakat dunia sampai saat ini.Apalagi
di abad ke-21 ini, kebutuhan dan tuntutan atas kehadiran bangunan masyarakat
madani, bersamaan dengan maraknya issu demokratisasi dan HAM.Lalu yang menjadi
pertanyaan adalah, sejauh manakah Islam merespon masyarakat tersebut.
Jawabannya adalah bahwa Islam yang ajaran dasarnya Alquran, adalah shālih li
kulli zamān wa makān (ajaran Islam senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi).
Karena demikian halnya, maka jelas bahwa Alquran memiliki konsep tersendiri
tentang masyarakat madani.
Semua orang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan
sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat Indonesia, yaitu adil dan
makmur bagi seluruh lapisan masyarakat.Untuk mencapainya berbagai sistem
kenegaraan muncul, seperti demokrasi. Cita-cita suatu masyarakat tidak mungkin
dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas
sumber daya manusia. Hal ini terlaksana apabila semua bidang pembangunan
bergerak secara terpadu yang menjadikan manusia sebagai subjek.Pengembangan
masyarakat sebagai sebuah kajian keilmuan dapat menyentuh keberadaan manusia
yang berperadaban. Pengembangan
masyarakat merupakan sebuah proses yang dapat merubah watak, sikap dan prilaku
masyarakat ke arah pembangunan yang dicita-citakan.
Indikator dalam menentukan kemakmuran suatu bangsa
sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan
masyarakatnya.Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mencuatkan suatu kemakmuran
yang didambakan yaitu terwujudnya masyarakat madani.Munculnya istilah
masyarakat madani pada era reformasi ini, tidak terlepas dari kondisi politik
negara yang berlangsung selama ini.Sejak Indonesia merdeka, masyarakat belum
merasakan makna kemerdekaan yang sesungguhnya.Pemerintah atau penguasa belum
banyak member kesempatan bagi semua lapisan masyarakat mengembangkan potensinya
secara maksimal. Bangsa Indonesia belum terlambat mewujudkan masyarakat madani,
asalkan semua potensi sumber daya manusia
2. Rumusan Masalah
a)
Bagaimana Pengertian Masyarakat
Madani?
b)
Bagaimana Konsepsi Islam dalam
Membangun Masyarakat Madani?
c)
Bagaimana Sosio-Historis Masyarakat
Madinah pada Masa Rasulullah?
d)
Bagaimana Karakteristik Masyarakat Madani?
3. Tujuan Masalah
a) Untuk
Mengetahui Pengertian Masyarakat Madani
b) Untuk Mengetahui Konsepsi Islam dalam Membangun
Masyarakat Madani
c) Untuk Mengetahui Sosio-Historis Masyarakat Madinah
pada Masa Rasulullah
d) Untuk Mengetahui Karakteristik Masyarakat Madani
BAB II
PEMBAHASAN
Cita-cita
sosial Islam menempati posisi strategis dalam kerangka ajaran Islam, karena ia
merupakan arah dan acuan kehidupan keberislaman. Gerakan Islam, apapun
bentuknya, sepanjang diorientasikan dalam rangka memperjuangkan cita-cita sosial Islam, dengan demikian, merupakan
faktor instrumental untuk mengantarkan umat kepada pencapaian (tepatnya
penghampiran) cita-cita tersebut.
Dalam
perspektif ini, gerakan Islam, seyogyanya melakukan interpretasi dan aktualisasi
cita-cita sosial Islam dalam konteks seting sosial, budaya, dan dinamika
masyarakat yang dihadapinya.
1.Islam dan Masyarakat Madani
1.
Pengertian
Masyarakat
Pengertian masyarakat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.Kata
masyarakat tersebut, berasal dari bahasa Arab yaitu syarikat yang
berarti golongan atau kumpulan.
Sedangkan dalam bahasa
Inggeris, kata masyarakat tersebut diistilahkan dengan society dan atau community.Dalam
hal ini, Abdul Syani menjelaskan bahwa bahwa masyarakat sebagai community dapat
dilihat dari dua sudut pandang.Pertama, memandang community
sebagai unsur statis, artinya ia terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan
batas-batas tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan
masyarakat sehingga ia dapat disebut masyarakat setempat.
Kedua, community dipandang sebagai unsur
yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui faktor
psikologis dan hubungan antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur
kepentingan, keinginan atau tujuan yang sifatnya fungsional.
Terdapat kata
kunci yang bisa menghampiri kita pada konsep masyarakat madani (civil
society), yakni kata “ummah” dan “madinah”.Dua kata kunci yang memiliki
eksistensi kualitatif inilah yang menjadi nilai-nilai dasar bagi terbentuknya
masyarakat madani.Kata “ummah” misalnya, yang biasanya dirangkaikan dengan
sifat dan kualitas tertentu, seperti dalam istilah-istilah “ummah Islamiyah,
ummah Muhammadiyah, khaira ummah dan lain-lain, merupakan penata sosial utama
yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW segera setalah hijrah di Madinah.
“Ummah”
dalam bahasa arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu
komunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti
disyaratkan al-Qur’an, “ummah” menunjukan suatu komunitas yang mempunyai basis
solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis, dan moralitas.
Dalam
perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah
dimaksudkan untuk membina solidaritas di kalangan para pemeluk Islam (kaum
Muhajirin dan kaum Ansahar).Khusus bagi kaum muhajirin, konsep “ummah”
merupakan sistem sosial alternatif pengganti sistem sosial tradisional, sistem
kekabilahan dan kesukuan yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam.
Hal
di atas menunjukan bahwa konsep “ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang
konotasi politik. Istilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial
Islam dan memiliki konotasi politik adalah “khilafah”, “dawlah”, dan “hukumah”.
Istilah pertama, “khilafah”, disebutkan sembilan kali dalam al-Qur’an, tapi
kesemuanya bukan dalam konotasi sistem politik, tapi dalam konteks misi
kehadiran manusia di muka bumi.Oleh karena itu, penisbatan konsep “khilafah”
dengan institusi politik tidak mempunyai landasan teologis.
Begitu
pula dengan istilah “dawlah”, yang diartikan negara (nation state) dan dipahami
sebagai masyarakat madaniyang harus di tegakkan, tidak terdapat dalam
al-Qur’an.
Kata
“hukumah” yang diartikan pemerintah juga tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an memang banyak menyebut bentuk-bentuk dari akar kata “hukumah” yaitu
“hukama”, tapi dalam pengertian dan konteks yang berbeda. Ayat-ayat al-Qur’an
yang dipakai untuk menunjukan adanya pemerintahan Islam, seperti yang terdapat
dalam teori “hakamiyan” (pemerintahan ilahi) adalah dala surah al-Maidah ayat
44, 45, dan 47.Namun, perlu dicatat bahwa pengertian kata-kata “yahkumu” dalam ayat-ayat
tersebut tidak menunjukan konsep pemerintahan.
Kata
“ummah” disebut sebanyak 45 kali dalam al-Qur’am.Baik dalam bentuk tunggal
maupun dalam bentuk jamak.Penyebutan al-Qur’an dan juga hadis menunjukan
masyarakat madani.Sebagai masyarakat madani, konsep umat Islam ditegaskan atas
dasar solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi dari keprihatinan moral
terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat yang berorientasi kepada
nilai-nilai Islam.
Islam
merupakan agama yang universal (rahmatan lil-alamin), maka nilai-nilai Islam
harus mendatangkan kebaikan bagi alam semesta.Prinsip kerahmatan dan kemestaan
ini menuntut adanya upaya universalisai nilai-nilai Islam untuk menjadi
nilai-nilai nasional ataupun global.
Seperti
telah disebutkan diatas, penyebutan kata “ummah”dalam al-Qur’an dan al-Hadis
dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu.Hal ini menunjukan bahwa
“ummah”, sebagai komunitas sosial kualitatif, mempunyai nilai relatif.Artinya
bahwa perwujudan “ummah” dalam keragaman realitas sosial budaya kaum muslimin
tidak mungkin seragam dan bercorak tunggal. Perwujudan “ummah” akan sangat
tergantung kepada realitas sosial budaya tertentu.
Lebih
dari itu, “ummah islamiyah” yang di bangun Nabi Muhammad di Madinah merupakan
model yang baik (uswatun hasanah) yang mengandung nilai-nilai ideal pada
masanya (abad ke-7).Ia mungkin saja tidak seluruhnya relevan dengan kehidupan
masyarakat pada abad modern dewasa ini (abad 21). Masyarakat Madani sebagai
cita-cita sosial Islam perlu memiliki relevansi dengan kemodernan dan dinamika
kebudayaan.
2.
Pengertian
Madani
Hal
inilah yang tersirat dalam konsep “madinah”, satu kata kunci yang lain yang
terjalin erat dalam pembangunan masyarakat madani. Jika konsep “ummah”
merupakan piranti lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat
madani), maka konsep “madinah” merupakan piranti kerasnya (hardware). “Madinah” yang berarti kota berhubungan dan
mempunyai akar kata yang sama dengan kata ‘tamaddun” yang berarti peradaban.
Perpaduan pengertian ini membawa suatu persepsi ideal bahwa “madinah” adalah
lambang peradaban yang kosmopolit.Bukan suatu kebetulan bahwa kata “madinah”
juga merupakan kata benda tempat dari kata “din’ (agama).Korelasi demikian
menunjukan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu
masyarakat kosmopolitan yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari
umat Islam.
Dengan berdasar pada pengertian “masyarakat” dan
“madani” yang telah diuraikan maka istilah “masyarakat madinah” dapat diartikan
sebagai kumpulan manusia dalam satu tempat (daerah/wilayah) di mereka hidup
secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan
yang telah di-tetapkan. Dalam konsep umum, masyarakat madani tersebut sering
disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’
al-madani, yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat
yang berkeadilan, dan berperadaban”.
Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat
madani tersebut dikonteks-kan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr
yang secara harfiyah diarti-kan negeri yang baik dalam keridhaan Allah. Istilah yang digunakan
Alquran sejalan dengan makna masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang ideal
itu berada dalam ampunan dan keridahan-Nya.“Masyarakat ideal” inilah yang
dimaksud dengan “masyarakat madani”.
2. Konsepsi Islam dalam
Membangun Masyarakat Madani
Istilah masyarakat
madani, menurut sebagian kalangan, pertama kali dicetuskan oleh Naquib
al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia.Jika ditelusuri
lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan merupakan
terjemahan dari al-mujtama al-madany. Jika demikian, besar kemungkinan
bahwa istilah yang dicetuskan oleh Naquib al-Attas diadopsi dari karakteristik
masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh Rasulullah di Madinah,
yang kemudian disandingkan dengan konteks kekinian.
Istilah tersebut
kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahim—yang saat itu menjabat
sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia—pada Festival Istiqlal September
1995.Dalam ceramahnya, Anwar Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait
karakteristik masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer, seperti
multietnik, kesalingan, dan kesedian untuk saling menghargai dan
memahami.Inilah yang kemudian mendorong beberapa kalangan intelektual Muslim
Indonesia untuk menelurkan karya-karyanya terkait wacana masyarakat
madani.Sebut saja di antaranya adalah Azyumardi Azra dalam bukunya "Menuju
Masyarakat madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya
"Memberdayakan Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000).
Kemudian di dalam ranah
pemikiran Islam belakangan ini, substansi, karakteristik, dan orientasi
masyarakat madani yang sesungguhnya seperti kehilangan jejak, Menguat dugaan,
hal ini memang sengaja dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mereduksi
nilai-nilai Islam yang ideal. Setidaknya integrasi konsep masyarakat madani
terhadap konsep civil society mengindikasikan kalau diskursus tersebut
mengalami pembiasan esensi dan proses integrasinya pun cenderung kompulsif.
Inilah kemudian yang menjadi alas an utama betapa perlunya menghadirkan kembali
dan menarasikan secara utuh, ide-ide dalam masyarakat madani yang pernah
diaktualkan Rasulullah di Madinah dalam pembahasan ini. Sehingga tidak ada lagi
tumpang-tindih konsepsi yang mengaburkan cara pandang dan pemahaman khalayak
terhadap diskursus ini.
3. Sosio-Historis
Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah
Dengan kondisi
geografis yang cukup subur, jauh sebelumnya lahir masyarakat madani, Madinah
telah ditempati oleh masyarakat plural yang terdiri dari beragam suku dan
aliran kepercayaan. Daerah tersebut dulunya bernama Yatsrib, yang kemudian
diganti menjadi Madînah al-Rasûl—atau yang lebih popular disebut Madinah
saja—setelah Rasulullah tiba di sana. Setidaknya ada delapan suku yang eksis
ketika Rasulullah tiba di Madinah. Selain itu, pada masing-masing suku
terdapat beragam aliran kepercayaan; seperti penganut agama Islam, penganut
agama Yahudi, dan penganut paganisme. Dengan kondisi yang amat plural, dari sini
akan terlihat jelas bagaimana Rasulullah merancang sebuah konsep yang sangat
ideal dalam rangka membangun masyarakat madani.
Hal yang perlu
diperhatikan dalam hal ini adalah bagaimana Rasulullah—yang baru tiba di
Madinah, berikut sambutan masyarakat Madinah yang begitu antusias dengan
kedatangan Rasul—langsung melakukan konsolidasi dengan penduduk setempat.Dalam
hal ini, Rasulullah sebagai seorang pemimpin, melihat secara jelas tiga
tipologi masyarakat Madinah dalam perspektif keyakinan dan aliran kepercayaannya.
Pertama, penganut agama Islam yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar.
Merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin, jika di Mekah, hak-hak dan
kebebasan kebebasan kaum muslimin dalam beribadah dan berinteraksi sosial
dipasung sedemikian rupa, berikut ketiadaan basis dan kekuatan untuk melakukan
konsolidasi dan proses islamisasi. Maka keadaan di Madinah berbalik 180° dari
keadaan di Mekah, kini mereka memiliki basis dan kekuatan yang mumpuni—di
samping melakukan konsolidasi dan proses islamisasi—untuk menggerakkan dan
mengelola berbagai sektor kehidupan bermasyarakat dan bernegara; seperti sektor
ekonomi, politik, pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain.
Kedua, penganut agama Yahudi, yang terdiri dari tiga kabilah besar, yaitu Bani
Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzha.Ketiga kabilah inilah yang dulu
menghegemoni konstelasi politik dan perekonomian di Madinah, hal tersebut
disebabkan karena keahlian dan produktivitas mereka dalam bercocok tanam dan
memandai besi. Sementara kabilah-kabilah Arab yang lain masih hidup dalam
keadaan nomadik, atau karena keterbelakangan mereka dalam hal tersebut. Adapun
imbasnya adalah pengaruh mereka yang begitu besar dalam memainkan peranannya
yang cenderung destruktif dan provokatif terhadap kabilah-kabilah selain
mereka.Hal tersebut berlangsung dalam tempo yang sangat lama, hingga akhirnya
Rasulullah tiba di Madinah dan secara perlahan mereduksi pengaruh kaum Yahudi
yang oportunistis tersebut dengan prinsip-prinsip agung Islam yang konstruktif
dan solutif.
Ketiga, penganut paganisme, dalam hal ini yang dimaksud adalah komunitas
masyarakat Madinah yang masih menyembah berhala seperti halnya penduduk
Mekah.Di dalam buku-buku sejarah, komunitas ini disebut kaum musyrik.Mereka
inilah yang masih mendapati keraguan dalam diri mereka untuk mempercayai dan
meyakini kebenaran ajaran yang dibawa oleh Rasulullah.Namun pada akhirnya
komunitas tersebut masuk Islam secara berbondong-bondong terutama pascaperang
Badar.
Setelah membaca dan
memahami karakter ketiga golongan tersebut, barulah Rasulullah melakukan
konsepsi—yang tidak lain merupakan wahyu—yang dilanjutkan dengan aktualisasi
konkret terhadap konsep tersebut. Jika orientasi dakwah Rasulullah di Mekah
adalah memperkokoh akar keimanan para pengikutnya, maka orientasi Rasulullah di
Madinah adalah membangun tatanan keislaman yang meliputi penyampaian dan
penegakan syariat Tuhan secara utuh, dan tatanan kemasyarakatan yang meliputi
pembangungan masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip agung Islam,
berikut nilai dan norma yang ada pada al-Qurʼan dan petunjuk Nabi. Sementara
terkait dengan penganut kepercayaan lain, seperti kaum Yahudi dan kaum
Musyrikin, Nabi membuat sebuah piagam kebersamaan untuk memperkokoh stabilitas
sosial-politik antarwarga Madinah. Piagam inilah yang kemudian disebut sebagai
Piagam Madinah.
4. Karakteristik
Masyarakat Madani
Jika dicermati secara
komprehensif, maka di dalam ajaran Islam terdapat karakteristik-karakteristik
universal baik dalam konteks relasi vertikal, maupun relasi horizontal. Dalam
hal ini Yusuf al-Qaradhawi mencatat, ada tujuh karakteristik universal
tersebut, yang kemudian ia jelaskan secara spesifik di dalam bukunya al-Khashâ'ish
al-ʻAmmah li al-Islâm. Ketujuh karakteristik tersebut antara lain;
ketuhanan (al-rabbâniyah), kemanusiaan (al-insâniyyah),
komprehensifitas (al-syumûliyah), kemoderatan (al-wasathiyah),
realitas (al-wâqi`iyah), kejelasan (al-wudhûh), dan kohesi
antara stabilitas dan fleksibelitas (al-jam’ bayna al-tsabât wa al-murûnah).
Ketujuh karakteristik
inilah yang kemudian menjadi paradigma integral setiap Muslim dari masa ke
masa.Dari ketujuh karakteristik tersebut, ada dua karakteristik fundamental
yang menjadi tolak ukur pembangunan masyarakat madani, yaitu humanisme (al-insâniyyah)
dan kemoderatan (al-wasathiyyah).lima karakteristik yang lain—kecuali al-rabbâniyyah—setidaknya
bisa diintegrasikan ke dalam kategori toleran (al-samâhah).
Karena al-rabbâniyah, menurut al-Qaradhawi, merupakan tujuan dan muara
dari masyarakat madani itu sendiri. Pengintegrasian karakteristik-karakteristik
tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menyederhanakan konsep masyarakat
madani yang dibahas dalam makalah ini, sebab Islam sendiri—menurut Umar Abdul
Aziz Quraysy—merupakan agama yang sangat toleran, baik di dalam masalah akidah,
ibadah, muamalah, maupun akhlaknya.
Dengan demikian, bisa
disimpulkan bahwa Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang
menjadi fondasi pembangunan masyarakat madani, yaituIslam yang humanis, Islam
yang moderat, dan Islam yang toleran.
a. Islam yang
Humanis
Yang dimaksud dengan
Islam yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan
Rasulullah, sepenuhnya kompatibel dengan fitrah manusia. Allah berfirman Q.S
al-Rum ayat 30,
Artinya:
"Maka hadapkalah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan
terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya."
Karena itu, dalam
aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah dengan
mudah diterima oleh nurani dan nalar manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam
sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa
manusia—berdasarkan fitrahnya—memiliki tendensi untuk melakukan hal-hal yang
bersifat konstruktif dan destruktif sekaligus.Dalam hal ini, lingkungan
memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam membentuk karakter dan kepribadian
seseorang. Islam, sebagai agama paripurna, diturunkan tiada lain untuk
mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat konstruktif dan mendatangkan
kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam permasalahan ini, manusia
diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan, mana
yang baik dan mana yang buruk; mana yang terpuji dan mana yang tercela.
Jika kaum kapitalis lebih menjadikan manusia sebagai
sosok egois dan pragmatis, sehingga cenderung mendiskreditkan aspek-aspek
sosial dengan mengatasnamakan kebebasan personal; kaum sosialis melakukan
sebaliknya, yaitu cenderung mengebiri hak-hak personal dengan mengatasnamakan
kepentingan sosial. Di sinilah Islam dengan karateristiknya yang spesial,
memiliki cara tersendiri dalam upaya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia.
Islam berhasil mengatur hak-hak personal dan hak-hak sosial secara seimbang,
sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan
universal.
Hal lain yang perlu ditekankan pada poin ini adalah
bagaimana Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan naluri
dan tabiat manusia itu sendiri. Secara naluriah, setiap manusia memiliki
keinginan untuk hidup aman, damai, dan sejahtera dalam konteks personal maupun
komunal.Manusia juga telah diberikan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki
oleh makhluk-makhluk Allah lainnya.Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut,
manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna.Kesepurnaan itu akan
berimplikasi pada kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia
mengikuti instruksi-instruksi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat
al-Isrâ’ ayat 23-34.
b. Islam yang
Moderat
Yang dimaksud dengan Islam yang moderat adalah
keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada
dimensi vertikal (al-wasathiyah al-dîniyah) maupun horizontal (al-tawâzun
al-ijtimâʻiy). Kemoderatan inilah yang membedakan substansi ajaran Islam
yang diajarkan Rasulullah dengan ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum
Rasulullah diutus maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat'
merupakan terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawâzun
(keseimbangan) dan al-iʻtidal (proporsional). Dalam hal ini Allah
menjelaskan karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat.
Dalam catatan
sejarahnya, karakteristik ini teraplikasikan secara sempurna pada diri
Rasulullah.Sesuai Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah
mengatakan dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia
adalah penjaga urusanku.Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat
hidupku.Dan perbaikilah pula akhiratku kerena di sanalah tempat
kembaliku."
Jadi, kemoderatan
merupakan salah satu karakteristik fundamental Islam sebagai agama
paripurna.Kemoderatan inilah yang sesungguhnya sangat kompatibel dengan naluri
dan fitrah kemanusiaan.Kemoderatan ini juga yang membuat Islam dengan mudah
diterima akal sehat dan nalar manusia. Diakui atau tidak, nilai-nilai
kemoderatan inilah yang menjadi lambang supremasi universalitas ajaran Islam
sebagai agama penutup, yang mengabolisikan ajaran Yahudi yang memiliki tendensi
ekstremis dengan membunuh para Nabi dan Rasul yang Allah utus kepada mereka,
sedangkan ajaran Nasrani memiliki tendensi eksesif dengan menuhankan Nabi Isa
al-Masih dan lain-lain.
Dari kemoderatan inilah
konsepsi-konsepsi kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh
dalam membangun masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai
dan norma keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan,
keadilan, konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan. Konsep
integral inilah yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap masyarakat
madinah yang diiringi dengan aktualisasi konsep tersebut secara multidimensi,
sehingga lambat laun konsep tersebut menjadi identitas eternal keislaman yang
diajarkan Rasulullah di Madinah dan menjadi masyarakat percontohan bagi siapa
saja yang datang setelahnya.
Dalam hal ini Sayyid
Quthb dalam bukunya al-Salâm al-ʻÂlamywa al-Islâmy mengamini
bahwa keseimbangan sosial (al-tawâzun al-ijtimâʻiy) merupakan fondasi
utama guna mewujudkan keadilan sosial (al-ʻadâlah al-ijtimâʻiyah) di
tengah-tengah masyarakat. Nilai keseimbangan sosial ini dalam tahapannya
menjadi tolak ukur untuk mewujudkan ketenteraman dan kedamaian di dalam
kehidupan bermasyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat madani.
c. Islam yang
Toleran
Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samâhah
atau al-tasâmuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasâhul
atau al-luyûnah yang berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan
toleransi itu sendiri. Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua
pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim),
dan berkaitan dengan penganut agama lain (Nonmuslim).
Jika dikaitkan dengan
kaum Muslimin, maka toleran yang dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan
fleksibelitas ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sebab pada
hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah dan fleksibel untuk dipahami
maupun diaktualkan.Sehingga Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn
benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks masyarakat Madinah pada masa
Rasulullah.
Untuk itu, sebagai
konsekuensi logis dari Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn yang shâlih
li kulli zamân wa makân, maka substansi ajaran Islam harus benar-benar
mudah dipahami dan fleksibel untuk diaplikasikan. Sehingga di dalam
perjalanannya, banyak didapati teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung
masalah tersebut. Allah berfirman, Q.S al-Baqarah : 286
Artinya:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum
kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir".
Demikian juga teks
al-Qur'an yang mengatakan, Q.S al-Baqarah 185
Artinya :
Maka tatkala ajaran
Islam memiliki konsekuensi untuk kompatibel dengan fitrah dan kondisi manusia,
Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia sehingga Ia mengatakan, Q.S al-Nisa:28
Artinya :
"Allah hanya
menghendaki keringanan untuk kalian, dan manusia telah diciptakan dalam keadaan
lemah."
Adapun teks-teks dari
Hadis mengenai keringanan dan kemudahan tersebut dapat dilihat tatkala Nabi
hendak mengutus Muʻadz dan Abu Musa ke negeri Yaman, dalam hal ini Nabi
berpesan, "Permudahlah, jangan mempersulit." Masih dalam konteks yang
sama, Nabi bahkan mengafirmasi bahwa ajaran agama Islam memang penuh dengan
kemudahan dan fleksibelitas. Di samping itu, Aisyah pernah bercerita tentang
tabiat sang Nabi yang senang dengan kemudahan dan fleksibelitas, ia mengatakan,
"Tidak pernah Nabi diberi pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah di
antaranya, asalkan tidak ada larangan untuk hal tersebut."
Inilah bentuk kemudahan
dan fleksibelitas ajaran Islam, dan tentu masih banyak teks-teks al-Qur’an dan
Hadis yang menjadi bukti eternal betapa ajaran Islam sangat mencintai
kemudahan, kasih sayang, dan kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap
mereka yang berbeda agama, sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan
masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran
Islam yang mengarahkan kepada kekerasan dan sikap kompulsif tidak akan didapati
sedikit pun, kecuali pada dua hal; pertama, ketika berhadapan dengan
musuh di dalam peperangan, bahkan Allah memerintahkan untuk bersikap keras,
berani, dan pantang mundur. Hal tersebut diperintahkan sebagai bentuk
konsekuensi dari keadaan yang tidak memungkinkan untuk bersikap lunak dan lemah
lembut, agar totalitas berperang benar-benar tejaga, untuk meraup kemenangan
yang gemilang.Kedua, sikap kompulsif dalam menegakkan dan mengaktualkan
hukuman syariat tatkala dilanggar.Dalam hal ini Allah tidak menghendaki adanya
rasa iba hati dan belas kasih, sehingga hukuman tersebut urung diaktualkan.
Sikap kompulsif ini tiada lain merupakan upaya untuk menghindari penyebab
terganggunya konstelasi kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung
tinggi nilai-nilai dan norma kemanusiaan.
Pada tataran aplikasi
realnya, jika kita cermati hukum-hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji,
dan lain-lain, kita akan mendapati kemudahan dan fleksibelitas di sana. Kita
juga akan mendapati berbagai indikasi augmentatif yang—secara tidak
langsung—mengukuhkan eksistensi setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di
muka bumi, baik aspek personal maupun sosial, seperti peningkatan mutu
kepribadian seseorang, baik yang berbentuk konkret maupun abstrak; atau
perintah untuk membangkitkan kepekaan sosial yang dibangun atas dasar
persaudaraan, egalitarianisme, dan solidaritas. Karena itu, dalam perjalanan
sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat laju peradaban.Islam justru
selalu mendorong umat manusia untuk melakukan inovasi demi kemaslahatan manusia
banyak.Islamlah yang senantiasa menyeru umat manusia untuk tekun menuntut ilmu
dan melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna menunjang eksistensi mereka di
dunia ini.
Sedangkan jika kata
toleran dikatikan dengan Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai
toleransi yang dipahami oleh khalayak pada umumnya.Dalam hal ini, ajaran Islam
sangat menghargai perbedaan keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan akan
mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Dengan kata
lain, Islam benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka,
selama mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah
mereka haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin.Allah berfirman,
Q.S al-An’am ayat 151
Artinya:
" Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian
itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).”
Rasulullah juga
bersabda, "Barang siapa yang membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup
di daerah kaum Muslimin dengan ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan
yang jelas, maka Allah mengharamkan baginya masuk surga."
Umar Abdul Aziz
Quraisyi menjelaskan bahwa sikap toleran Islam terhadap penganut agama lain
dibangun atas empat dasar: pertama, dasar nilai-nilai keluruhan sebagai
sesama manusia, meskipun dari beragam agama, etnis, dan kebudayaan; kedua,
dasar pemikiran bahwa perbedaan agama merupakan kehendak Allah semata; ketiga,
dasar pemikiran bahwa kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi
kecelakaan mereka yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu
merupakan hak prerogatif Allah di akhirat kelak; sedangkan keempat
adalah pemikiran bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan
berakhlak mulia, meskipun terhadap mereka yang berlainan agama.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasar pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan
kaitannya dengan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan
kesimpulan bahwa Masyarakat madani secara umum adalah sekumpulan orang dalam
suatu bangsa atau negara di mana mereka hidup secara ideal dan taat pada
aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan yang telah ditetapkan.
Masyarakat seperti ini sering disebut
dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau yang pengertiannya
selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang tebaik, berkeadilan, dan
berperadaban”. Dalam istilah Alquran , kehidupan masyarakat madani tersebut
dikontekskan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya
kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat
suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan
diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam
kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa
kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II
ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat
haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah
kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa
yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan
suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat
pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu
masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di
masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia
sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar
potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan
semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki
potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan
memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan
potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir
(Surabaya:Pustaka Progessif, 1984) hlm. 82.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Mansur Hidayat, Ormas
Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani, (Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008),
hal. 10
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam
Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,2002,
hlm. 93.